Prasangka Baik Adalah Sumber Kebahagiaan

Syekh Ibn Ataillah berkata:
In lam tuhsin dzannaka bihi li-ajli washfihi fa-hassin dzannaka bihi li-ajli mu’amalatihi ma’aka. Fa-hal ‘awwadaka illa husnan? Wa-hal asda ilaika illa minanan?
Terjemahan: Jika engkau tak mampu berbaik sangka kepada Tuhan karena sifat yang intrinsic ada pada-Nya, maka berbaik sangkalah kepada-Nya karena perlakukan baik-Nya terhadapmu. Bukankah Dia terus-terusan berbuat baik kepadamu? Bukankah Dia memberimu nikmat yang berlimpah?

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.
Pengertian umum. Sikap yang sehat terhadap hidup adalah berbaik sangka; berbaik sangka kepada kehidupan kita, kepada orang-orang disekitar kita, kepada lingkungan kita, dan terlebih lagi berbaik sangka kepada sumber kehidupan itu sendiri, yaitu Tuhan.

Dalam masa-masa sulit kadang kita memiliki prasangka buruk kepada kehidupan kita sendiri, kepada Tuhan. Prasangka buruk tak akan mengubah situasi sulit yang sedang kita hadapi. Tetapi prasangka baik sekurang-kurangnya memberikan tenaga psikologis yang positif pada diri kita. Prasangka positif membuat kita terus berjalan, terus mencoba, tanpa patah semangat.

Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal, Tuhan berfirman: Aku (Tuhan) mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Ana ‘inda dzanni ‘abdi bi. Jika seorang hamba memikiki prasangka baik kepada kehidupannya, dia akan memiliki sikap positif. Sebaliknya, jika dia memiliki prasangka negatif terhadap kehidupannya, dia akan hanya menciptakan kesulitan bagi dirinya sendiri. Sebab, dari sikap negatif itu dia akan membiarkan dirinya terjebak dalam pesimisme, dalam perasaan patah harapan.

Jika kita tak bisa berbaik sangka kepada Tuhan karena sifat-sifat-Nya sebagai Tuhan yang Maha Baik dan Dermawan, sekurang-kurangnya kita berbaik sangka kepada-Nya karena kebaikan-kebaikan yang telah Dia limpahkan-Nya kepada kita setiap hari, setiap saat. Sekurang-kurangnya kita bersyukur bahwa Dia masih terus melimpahi kita dengan kebaika-kebaikan dalam hidup ini, baik besar atau kecil.

Berprasangka baik kepada Tuhan bisa kita lakukan dengan rasa syukur kepada nikmat-nikmat kecil yang terus berhamburan dalam hidup kita setiap hari . Nikmat kecil itu bisa berupa momen-momen berbahagia bersama teman dan sahabat yang baik hati, bersama anak dan isteri. Nikmat itu bisa berupa kemampuan kita menikmati makan siang yang menyenangkan bersama kawan yang lama tak pernah kita jumpai.

Nikmat-nikmat kecil selalu bermunculan dalam hidup kita, setiap hari, bahkan setiap jam. Kita seringkali menganggap itu semua sebagai hal yang alamiah, seolah-olah bukan hal yang istimewa. Ketidak-mampuan kita untuk mensyukuri nikmat-nikmat kecil itu membuat kita kehilangan momen yang membahagiakan. Sebab mensyukuri nikmat adalah sumber kebahagiaan. Mensyukuri nikmat membuat kita terus memiliki prasangka baik kepada kehidupan kita, kepada Tuhan, walau dalam masa-masa yang sulit sekalipun.

Pengertian khusus. Ada dua maqam manusia dalam hal kemampauan berprsangka baik dan bersyukur ini. Ada orang-orang umum (‘awamm) dan orang-orang khusus (khawass). Orang-orang umum biasanya bersyukur dan berprasangka baik kepada Tuhan karena nikmat-nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya. Sementara orang-orang khawass mensyukuri dan berprasangka baik kepada Tuhan karena mereka melihat sifat-sifat “jamal” atau keindahan Tuhan dalam momen apapun.

Baik dalam situasi menderita atau bahagia, mereka hanya melihat aspek “jamal” atau keindahan Tuhan. Mereka ini, baik dalam masa sulit atau mudah, memiliki sikap yang sama: bahagia. Karena mereka tahu bahwa segala sesuatu, baik yang menyulitkan atau menggemberikan dalam hidup mereka, bersumber dari sumber yang sama, yaitu Tuhan yang Maha Baik dan Indah.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: pentingnya kita menjaga sikap yang stabil dalam hidup. Baik dalam situasi yang sulit maupun gampang, seseorang selayaknya berusaha untuk bersikap sama: tenang, berprasangka baik, tidak membiarkan dirinya tenggelam dan di

Previous
Next Post »